Menu
Informasi Berita, Menarik dan Terhangat

Dr. Johanis Tanak, S.H, M.H : Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Tidak Ada Alasan Menolak Permohonan Judicial Review 5 orang Jaksa

  • Bagikan

BASKOMNEWS – Uji materill terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 belum mereda. Seperti yang di ulas media Baskomnews.Com dari berbagai sumber. Salah satu pemohon, Dra. Renny Aryannny S.H. LLM, melakukan uji materiil terhadap UU Kejaksaan RI dengan berpijak pada UU 45 Pasal 24 Ayat 3 yang menjelaskan bahwa, Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Menurut Renny permohonan berfokus pada pelaksanaan fungsi badan peradilan, khususnya mengadili perkara pidana yang dilaksanakan oleh hakim dan jaksa. Inilah dasar dari pemohon dalam menguji Pasal 12 huruf C dan Pasal 40A UU Kejaksaan yang terkait dengan para jaksa yang memasuki masa pensiun telah mencapai 60 tahun.
“Kejaksaan merupakan badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan sistem peradilan yang dipertegas dalam Pasal 38 Ayat 1, Ayat 2 dan Pasal 54 Ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan demikian, sudah selayaknya usia pensiun hakim dan jaksa disetarakan menjadi 65 tahun seperti hakim Pengadilan Negeri saja, karena Hakim Tinggi bisa 67 tahun, bahkan Hakim Agung hingga 70 tahun”, jelas Renny.
Mengenai uji materiil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021, yang dimohonkan oleh para pemohon, Baskomnew.com telah mewawancarai Dr. Johanis Tanak, S.H., M.H. yang sekaligus adalah mantan Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI (Direktur TUN Kejagung). Dalam pendapat hukum nya Johanis Tanak menyoroti beberapa hal termasuk menyoroti jumlah Jaksa yang tidak berimbang terhadap perkara yang ditangani di seluruh Indonesia .

Menurut nya, undang-undang No. 11 Tahun 2021 tidak mempertimbangkan jumlah Jaksa yang sangat terbatas, sementara jumlah perkara yang sedang dalam penanganan institusi Kejaksaan di seluruh Indonesia sangat banyak sehingga, Jaksa yang diperlukan harus berimbang dengan jumlah perkara yang harus ditangani. Seperti yang dinyatakan oleh Pemohon, saat ini terdapat 11.140 Jaksa. Padahal kebutuhan lapangan idealnya 16 ribu Jaksa, sehingga masih banyak kekurangan jaksa. “Maka, dengan mengurangi masa pensiun Jaksa, jumlah Jaksa akan berkurang drastis. Ironisnya Jaksa yang usia pensiunnya 62 Tahun harus pensiun pada usia 60 Tahun” tutur Johanis .

Hal kedua yang disoroti oleh mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi Dr. Johanis Tanak, SH MH adalah mengenai Proses Pembentukan UU yang dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Tahap Penyusunan RUU merupakan tahap penyiapan sebelum RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah, tahapan ini terdiri dari Pembuatan Naskah Akademik, Penyusunan RUU dan Harmonisasi, Pembuatan dan Pemantapan konsepsi.

Harmonisasi, Pembuatan dan Pemantapan Konsepsi adalah suatu tahapan untuk:
Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan :
Pancasila, UUD NRI 1945 dan UU lainnya.
Teknik Pnyusunan peraturan perundang-undangan
Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam RUU.

Menurut Dr. Johanis Tanak, SH MH yang adalah salah satu jaksa yang lolos 10 besar Capim KPK ini menjelaskan, bila disimak dengan seksama Pasal 12 huruf c jo Pasal 40A UU No. 11 Tahun 2021 yang dimohonkan Judicial Review oleh 5 orang Jaksa senior, terlihat dengan jelas bahwa Tahapan Proses Pembuatan UU No. 11 Tahun 2021 tersebut tidak melalui Proses harmonisasi yang teliti dan cermat sehingga tidak selaras dengan Sila ke 5 Pancasila, tidak selaras dengan Pasal 24 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 dan tidak selaras dengan Pasal 18, Pasal 38 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tutur nya.

Hal ketiga yang disoroti adalah kepedulian Pengurus Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), dijelaskan oleh Johanis Tanak bahwa Pengurus PJI tidak peduli dan bermasabodoh degan kepentingan para Jaksa yang terkait dengan penurunan usia pensiun Jaksa dari usia 62 yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 menjadi 60 tahun yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2021. Seharusnya Pengurus PJI memberi masukan kepada Pembuat RUU Kejaksaan sebelum disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2021 dengan memberi saran atau masukan agar Usia Pensiun Jaksa tidak diturunkan menjadi 60 tahun, tapi sedapat mungkin diupayakan untuk disetarakan dengan Usia Pensiun Hakim 65 tahun sebagaimana upaya Pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKHI) memperjuangkan kepentingan Hakim dalam berbagai aspek seperti, status Hakim sebagai PNS/ASN berubah menjadi Hakim sebagai Pejabat Negara, kenaikan Gaji Hakim, menaikan usia Pensiun Hakim menjadi 65 tahun.

Dengan adanya pengurangan Usia Pensiun Jaksa yang merugikan kepentingan Jaksa, maka seharusnya Pengurus PJI tidak segan-segan untuk mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 12 huruf c jo Pasal 40A UU No. 11 Tahun 20021, namun kenyataannya Pengurus PJI tidak memperdulikan hal tersebut sehingg 5 orang Jaksa Senior dengan rendah hati mengajukan Permohonan Judicial Review terhadap UU No. 11 Tahun 2021 yang mana hal tersebut sangat diharapkan oleh para Jaksa pada umunya agar Usia Pensiun Jaksa tidak diturunkan menjadi 60 tahun dan berharap disetarakan dengan Usia Pensiun Hakim 65 tahun.

Hal keempat yang disoroti adalah Fungsi Jaksa. Menurut Johanis Tanak, Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Kehakiman yang berkaitan dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Hal ini selaras dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang” dan selanjutnya diatur dalam Pasal 18, Pasal 38 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 54 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam konteks ini yang perlu dilihat adalah Fungsi Jaksa dan Hakim sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system), bukan dilihat dari kelembagaannya dimana Hakim termasuk sebagai Lembaga Judikatif dan Kejaksaan sebagai Lembaga Eksekutif, dalam hal ini yang dilihat adalah Hakim maupun Jaksa sama-sama menjalankan Fungsi Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian cukup beradalan dan berdasar bila Usia Pensiun Jaksa sebagai Pejabat Fungsional dapat disetarakan dengan Usia Pensiun Hakim, yaitu 65 tahun.
Hal ini dimungkinkan karena usia pensiun bagi Pejabat Fungsional menurut Pasal 90 huruf c UU No. 5 Tahun 2014 tentang PNS/ASN mengatur bahwa “Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c yaitu sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi Pejabat Fungsional.

Dengan demikian usia pensiun bagi Pejabat Fungsional Jaksa bisa 65 atau lebih, tergantung berapa yang dikehendaki UU Kejaksaan, tetapi tentunya bukan untuk merugikan kepentingan para Jaksa, melainkan dapat bermanfaat dan dapat membahagiakan para Jaksa sebagaimana yang dimaksud oleh Jeremy Bentham yang dikenal dengan Teori Utilities.

Dengan demikian menurut Johanis Tanak, tuntutan 5 orang jaksa selaku pemohon dalam permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 12 huruf c jo Pasal 40A UU No. 11 Tahun 2021 yang mengatur Usia Pensiun Jaksa yaitu 60 tahun bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, sehingga cukup berdasar dan beralasan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menerima Permohonan Judicial Review 5 orang Jaksa tersebut dan menyatakan Pasal 12 huruf c jo Pasal 40A UU No. 11 Tahun 2021 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tutup Dr. Johanis Tanak, SH MH.

Penulis: Ayub MEditor: Roby
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *